My Boss Is a Mental Killer

Dari tampilan fisik, banyak yang bilang bahwa bos tempat dimana aku bekerja termasuk golongan lelaki tampan. Mungkin yang bilang memiliki riwayat mata yang tidak sehat atau aku yang memiliki sedikit kelainan hingga tidak terima jika orang nomor satu dikantorku itu dikatakan tampan.

Menurut terjemahan google, tampan itu gagah, bagus, ganteng dan rupawan. Dan, tebakanmu benar. Sekilas, ia memang begitu. Mobil Harrier menjadi transportasi hariannya, handbag merek Gucci keluaran terbaru yang isinya semua rupiah berkulit merah, memamerkan wajah Presiden Indonesia pertama yang sedang tersenyum bahagia atau mungkin sedang tertawa kala itu. Entahla.

Sebagai pemilik modal, tentu saja perusahaannya berkembang pesat. Saat ini ia telah memiliki empat cabang perusaahan dalam bidang yang sama. Ia juga melakukan ekspansi dengan membuka dua perusahaan dibidang yang berbeda namun tetap berhubungan dengan perusahaan sebelumnya.

"Dengan PT. Kampret?", suara nyaring menyapa diseberang telpon.

Tentu saja aku mengatakan ya. Mengiyakan semua pertanyaanya yang memang benar berkaitan dengan perusahaan ini. Lima belas menit kemudian, hp kantor berbunyi. Siapa lagi kalau bukan sibeliau yang menghubunguki.

"Siapa yang perintah kamu untuk ngasih nomor saya ke orang Bank?!", tentu saja aku tidak kaget mendengar suaranya yang meninggi.

"Lain kali, jangan pernah kasih nomor saya kesiapa pun", lanjutnya setelah puas meluapkan amarahnya.

Baru saja aku meletakkan hp, telpon diatas meja kerjaku kembali berdering. Ternyata Cs yang bernama Vivian itu kembali menghubungiku. Kali ini bukan untuk urusan kerja tentu saja. Ia hanya ingin melampiaskan kekesalannya. Dia baru saja mengenalkan namanya tanpa menanyakan namaku, tapi uda sudah berani melempar kekesalannya padaku.

"Aku tidak menyangka akan mendapat perkataan kotor dan kasar dari beliau. JIka tidak berkenan untuk bicara, menutup tanpa permisi aku akan mengerti jika beliau sedang tidak ingin diganggu".

Kusela pembicaraannya, "maaf mba, karena saya mbak mendapatkan respon yang tidak baik"

"kenapa mba yang meminta maaf? aku tidak mengharapkan itu dari mba", jawabnya cepat. "mba tidak salah, tidak perlu melakukan itu. Justru karena dari awal mbanya baik, itu sebabnya aku telpon kembali. Selain ingin meringankan beban hatiku, aku juga ingin memberitahukan kepada mba, bahwa kami akan melaporkan beliau ke pihak yang berwajib. Semua pembicaraan terekam, dan itu sudah cukup menjadi bukti"

Jujur saja, aku mendukung aksi mereka. Bosku sudah keterlaluan. Kalian bisa mangira kan apa yang dilakukan kepada para pekerjanya yang nota bene makan gaji darinya. Meski aku mendukung, namun mewakili bosku, aku meminta maaf. Kukatakan pada Cs yang aku tebak rendah hati itu, bahwa jika mereka menuntut, aku pun akan terseret.

Akhirnya, atas pertimbangan apa yang akan aku terima, Vivian setuju untuk tidak melanjutkan niatnya. Aku berterimakasih akan hal itu.

Untuk menjadi seorang bos, tidak perlu sekolah. Dan tidak semua Bos layak jadi pemimpin. Ada yang jadi Bos karena memang dia ekspert dibidangnya, ada juga karena ia pandai dalam berkata kata, ada juga karena ia memiliki modal yang cukup dan lainnya.

Dikasusku, ada dalam poin ketiga.
Jika anak buah salah, Bos juga pernah salah. Toh manusia tempatnya salah bukan? Dan entah siapa pencetus undang undang bahwa "poin 1, Bos tidak pernah salah. Jika Bos salah, kembali ke poin 1" menjadi nyata dalam kehidupan kerja.

Dikantor, tidak ada manusia yang pintar kecuali dirinya. Bahkan ia tidak pernah mengucapkan terimakasih kepada yang disuruhnya untuk membuatkannya kopi. Lift diciptakan hanya untuk menaik turunkan dirinya. tidak ada training untuk anak baru, mereka dianggap bisa meskipun baru lima menit menjadi pekerjanya.

Jin sekali pun tidak akan semudah itu beradaptasi. Bagi Bosku, tidak cocok, pecat.
Tidak heran, jika pegawainya gonta ganti. Hanya yang kuat yang bertahan, karena mencari pekerjaan tidak semudah mengumpat.





Komentar

Postingan populer dari blog ini

KEBIASAAN BARU YANG BUAT CANDU

GYM DAN KETABUANNYA

APA ITU JODOH ?